KIEV, KOMPAS.com - Dua kerajaan sepak bola tiba di ibu kota Ukraina dengan suasana hati berbeda. Spanyol hadir di Kiev setelah memenangi pertarungan lebih dari 120 menit melawan Portugal. Italia datang dengan gegap gempita setelah menekuk Jerman, tim yang sangat diunggulkan, 2-1. Suasana berbeda ini dibuhul oleh tekad yang sama kuat: mengangkat trofi Piala Eropa 2012.
Di atas kertas, Spanyol memang lebih superior. Namun, aksi lapangan tidak selalu mencerminkan hitung-hitungan di atas kertas. Pelatih Vicente del Bosque berujar, para pemain saat ini masih lelah dan berada di titik yang rapuh. Portugal tidak hanya membuat Spanyol terlihat bodoh, tetapi juga membuat semangat mereka terjun ke titik nol.
Saya yakin mereka sudah terbiasa melalui ini semua sepanjang musim. Saya berharap mereka siap untuk final, tutur Del Bosque kepada wartawan.
Kondisi tim Italia sebetulnya tidak jauh berbeda dari Spanyol. Mereka membutuhkan waktu untuk memulihkan diri. Akan tetapi, rasa bahagia setelah dua gol Mario Balotelli di semifinal itu belum luruh.
Kami berkembang dan kondisi kami meningkat sejak awal laga hingga saat ini, baik fisik maupun psikologis, tutur Pelatih Azzurri Cesare Prandelli.
Pelatih berusia 54 tahun ini menggambarkan bagaimana kepercayaan diri tim makin kuat. Setelah kekecewaan
selama empat tahun terakhir, Italia mulanya menatap turnamen ini dengan harapan tipis. Prandelli dalam waktu singkat melakukan hal mendasar yang sangat penting, mengembangkan spirit tim.
Kami tidak takut kepada mereka (Spanyol). Kami lebih kuat dari saat pertemuan pertama (babak penyisihan Grup C di Gdansk, kata Prandelli, yang tak akan membiarkan Spanyol mendikte tempo permainan.
Setara
Para pemain dan pengamat menilai laga final antara dua negara yang dipisahkan Laut Tengah ini sebagai laga yang bakal istimewa. Kekuatan kedua tim ini setara. Sejumlah media di Polandia juga menilai final ini mempertemukan dua tim terbaik. Italia, seperti ditulis koran Rzeczpospolita, pantas melaju ke final setelah penampilan yang luar biasa melawan Jerman.
Gelandang Spanyol, Cesc Fabregas, juga menilai dua finalis sebagai tim yang paling konsisten sepanjang turnamen. Siapa pun pemenangnya, dialah yang juara, tuturnya kepada Reuters.
Italia, yang telah empat kali memenangi Piala Dunia (terakhir pada 2006), ingin meraih titel Piala Eropa untuk kedua kali sejak tahun 1968. Spanyol pun ingin mencatatkan pencapaian yang unik, memenangi tiga turnamen internasional berturut-turut. Patut dicatat, sejak tahun 1920, Spanyol belum pernah mengalahkan Italia di laga utama yang tidak berakhir dengan tendangan penalti.
Di tangan Del Bosque, aroma Spanyol menjadi berbeda. Del Bosque
memenangkan 84 persen pertandingan yang ia pandu. Sebanyak 12 persen kalah dan 4 persen seri. Adapun Prandelli memenangkan 58 persen laga sepanjang kariernya, 21 persen kalah, dan 21 persen seri. Semua catatan ini terhitung sebelum kick off Piala Eropa 2012.
Kami bangga dengan apa yang kami berikan. Kami mengharapkan prestasi yang belum pernah dicapai tim mana pun (memenangi tiga turnamen internasional berturut-turut). Pasti membanggakan buat masyarakat, sepak bola Spanyol, dan negara kami, ungkap Del Bosque.
Penentuan
Saatnya laga penentuan. Sejauh ini, Spanyol dan Italia menyuguhkan sajian penampilan yang berkebalikan dengan predikat yang melekat. Spanyol dengan gaya menyerangnya ternyata mampu membangun pertahanan serapat partikel dalam air. Adapun Italia yang kondang sebagai tim bertahan ala catenaccio melaju ke final melalui permainan yang dinamis dan menyerang, terwakili oleh ketajaman Mario Balotelli.
Bagi gelandang Spanyol, Andres Iniesta, menyerang adalah gaya yang memenangkan timnya di Piala Dunia 2010. Inilah gaya yang menjadi identitas kami. Jangan lupa, gaya inilah yang mengubah sejarah Spanyol. Saya kira itu cukup, kata Iniesta.
Apakah Del Bosque akan kembali menerapkan formasi 4-6-0 (meski pada intinya tetap 4-3-3, dengan tiga gelandang di depan) pada Senin dini hari nanti? Sejumlah pengamat dan media memperkirakan seperti itu, dengan Fabregas sebagai starter dan bukan Fernando Torres.
Apa pun formasinya, Prandelli tetap menganggap Spanyol sebagai lawan terbaik. Spanyol tetap paling favorit karena kerja keras mereka bertahun-tahun. Mereka dominan di setiap gim sejauh ini, kata Prandelli. Ia bahkan masih takjub dengan pencapaian timnya. Setiap membuka mata, ia merasa masih bermimpi bisa ke final.
Bagi eks pelatih Fiorentina ini, Italia berada di jalur yang tepat ketika menghidangkan ciri permainan dinamis seperti di semifinal.
Itu tidak hanya menjadikan kami tim berkualitas, tetapi juga tim dengan spirit yang benar, tuturnya.
Bagi Balotelli, final Piala Eropa adalah momen yang telah lama ia tunggu. Dengan ayah dan ibunya datang menonton laga di Kiev besok dini hari, ia makin terlecut untuk menambah gol lagi.
Telinga Balotelli pasti makin peka mendengar teriakan Prandelli, profondita, yang berulang ia dengar sejak dua tahun lalu. Profondita atau kedalaman menjadi semacam mantra buat Prandelli. Sesaat setelah Riccardo Montolivo menendang bola, Super Mario langsung ke tengah, menyepaknya di hadapan kiper Manuel Neuer dan gol. Mantra Prandelli sudah bertuah di semifinal. Bagaimana di final?
Profonditaaaa! (SUSI IVVATY)
Via: Bertahan Dahulu, Menyerang Kemudian
0 comments:
Post a Comment